Beritainter nusa.com,Jakarta - Falsafah Jawa berbunyi "sabda pandita ratu tan kena wola wali". Falsafah tersebut bermakna bahwa seorang raja atau seorang pemimpin (presiden) tidak boleh berganti ucapan atau keputusan, karena keputusan seorang pemimpin sekali diucapkan, maka ucapannya akan menjadi pedoman, sumber rujukan semua orang, baik bagi pejabat negara yang menjalankan roda
Situsatau peninggalan sejarah yang pertama adalah Makam Raja-Raja Mataram, disinilah Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Senopati, Panembahan Hanyokrowati (Raja Mataram yang kedua pengganti Panembahan Senopati), Ki Juru Martani dan beberapa tokoh kerabat kerajaan Mataram Islam dimakamkan. Di dalam area situs ini terdapat pemandian keluarga raja
Harus"Sabda pandita ratu." Dalam etika Jawa dikenal satu ungkapan sabda pandhita ratu, "tan kena wola-wali," yang dapat dimaknai bahwa seorang pemimpin haruslah konsekuen untuk mewujudkan apa yang telah diucapkan. Kristalisasi perlunya pemimpin yang memiliki sifat bawa laksana.
SabdaPandita Ratu tan Kena Wola-Wali. Quotes tersebut jika diterjemahkan: Sabda raja tidak boleh mencla-mencle. Maka kecurigaan sultan terhadap fenomena klitih ini juga tidak boleh plin-plan. Berarti benar, ada grand design dalam teror yang membuat Jogja seperti GTA. Ada pihak yang diuntungkan oleh pemberitaan klitih.
berpegangpada tradisi sabda pandhita ratu datan kena wola wali perkataan raja. Berpegang pada tradisi sabda pandhita ratu datan kena. School SMAN 1 Malang; Course Title SEJARAH 0823200785; Uploaded By MateAntelope11995. Pages 265 This preview shows page 103 - 105 out of 265 pages.
Deklarasicapres Sultan Hamengku Buwono X pada 28 Oktober 2008 dinilainya bisa ditangkap sebagai 'sabda pandita ratu'."Sebagai sabda yang diucapkan raja, memang tidak boleh berubah-ubah. 'Tan kena wola-wali', artinya jika sabda itu untuk presiden, mengapa harus berubah menjadi wakil presiden wapres," terang Arwan.
Sebagaiseorang pemimpin yang mengaku memegang falsafah jawa, tentu saja tuan juga memegang falsafah "sabda pandita ratu, tan kena wola-wali" (seorang raja atau pemimpin harus bisa di pegang kata-katanya). Sekali lagi kamimengingatkan, pada tanggal 24 Juli 2019, tuan presiden mengatakan jangan membangun (bandara) di lokasi rawan bencana.
Disebutkan"Sabda pandita ratu tan kena wola-wali" atau juga "Sabda brahmana raja sepisan dadi tan kena wola-wali". Artinya ucapan seorang pimpinan (pemerintahan maupun agama) harus "sepisan dadi, tan kena wola-wali". Sekali diucapkan ya itu yang harus dilakukan, tidak boleh berubah-ubah.
Normakepemimpinan Jawa dikenal dengan ungkapan sabda pandita ratu tan kena wola-wali. Maksudnya seorang pemimpin harus konsekuen untuk melaksanakan dan mewujudkan apa yang telah dikatakan. Masyarakat Jawa menyebutnya sebagai orang yang bersifat berbudi bawa laksana yaitu teguh berpegang pada janji. Rangkuman Asthabrata
Sabda Pandita Ratu tan kena wola-wali Sabda Yesus itu penuh kuasa dan wibawa ibarat "idu geni", "tan kena wola-wali", sekali bertitah akan terlaksana. Ia menunjukkan kuasa keilahian-Nya. Setan-setan pun tunduk kepada-Nya. Kita tidak perlu ragu percaya kepada-Nya karena Ia berkuasa atas segalanya. Mari kita percaya dan bersujud
ySsCqd9. Oleh Alex Palit Jelang Pilpres 2014. Di antara kita mungkin banyak yang secara spontanitas menggerutu capek deh’ atau bahkan empet’ saat menyaksikan janji-janji manis kampanye, jargon-jargon tayangan iklan pencitraan mengaku-aku dirinya sebagai pemimpin yang amanah dengan segala janji-janji manisnya atas nama perubahan dan perbaikan nasib demi mewujudkan kesejahteraan rakyat, anti korupsi dan kolusi, untuk itu pilih dan cobloslah saya. Lalu bagaimana sosok kualitas seorang pemimpin sejati dapat diamati secara kasat mata? Dalam khasanah kepepimpinan Jawa, ada ungkapan menyebutkan sabda pandita ratu tan kena wola-wali, dan berbudi bawalaksana. Di mana kata sabda pandita ratu itu diartikan bahwa ucapan pendeta, raja atau pemimpin omongannya tidak boleh mencla-mencle alias tidak bisa dipegang. Sedang kata berbudi bawalaksana itu diartikan bahwa pandita, raja atau pemimpin harus setia janji satunya kata dengan perbuatan. Sebagai orang Jawa pasti mengenal ungkapan ini. Filosofi ungkapan ini tidak hanya berlaku bagi orang Jawa, juga non Jawa, tidak terkecuali juga berlaku bagi seluruh pemimpin di belahan bumi. Dikatakan seseorang berjiwa pemimpin sejati harus sabda pandita ratu tan kena wola-wali, dan berbudi bawalaksana, di mana omongannya bisa dipegang tidak mencla-mencle dan satunya kata dengan perbuatan. Itu penting! Kenapa itu penting, karena siapapun itu bahwa sejatinya seorang pemimpin haruslah berjiwa sabda pandita ratu tan kena wola-wali, dan berbudi bawalaksana. Karena dari sini kita akan mengetahui sejauhmana kualitas pemimpin tersebut. Dari filosofi ungkapan ini kita diajak belajar memilah dan memilih sejatinya seorang pemimpin dan pemimpim sejati. Dari ungkapan ini pula kita diajak belajar untuk memilah dan memilih agar tidak terperosok lagi pada jurang yang sama yang pernah dialami. Karena kita bukan keledai bego yang mau dibenturkan pada tembok itu-itu lagi. Dari ungkapan ini mengajarkan kepada kita pula pada sebuah ungkapan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Dari pengalaman ini pula kita akan banyak menimbah pelajaran berharga tentang hari kemarin, hari ini, dan hari esok. Karena kita semua tidak ingin mengulang kenyataan atas kegagalan di hari kemarin, berulang lagi di hari ini dan di hari esok. Akhirnya jelang Pilpres 2014, dari judul “Pemimpin Itu Sabda Pandita Ratu” akan menjadi proses pembelajaran dan pelajaran sangat berharga bagi kita untuk menentukan dalam hal memilah dan memilih apa dan siapa sosok sejatinya berjiwa pemimpin, satunya kata dengan perbuatan siapapun itu. Semoga! * Alex Palit, citizen jurnalis “Jaringan Pewarta Independen”
“Sabda pandita ratu, tan kena wola-wali.” Kalimat tersebut adalah dasar dari dasar, inti dari inti pemerintahan Jawa. Jika diterjemahkan secara umum, kalimat tersebut berarti “sabda raja dan pemuka agama tidak boleh plin-plan.” Falsafah yang dalam, teduh, namun kuat dan kita dalami, kalimat ini adalah pengingat bagi raja atau pemimpin saat bersikap. Seorang raja dan pemimpin harus tegas dalam mengambil keputusan. Tidak ada istilah plin-plan atau berubah-ubah kata. Seorang raja atau pemimpin perlu ingat, setiap ucapan yang dikeluarkan adalah pedoman bagi rakyatnya. Keputusan yang plin-plan dapat menimbulkan kebingungan dalam falsafah ini benar dihayati? Kita bisa memahami falsafah ini dari kisah rakyat tentang Kyai Ageng Prawiro Purbo. Menurut kisah ini, Ndoro Purbo adalah keponakan dari Sri Sultan HB VII. Blio dikenal sebagai sosok yang membumi, jail, namun digdaya. Kejahilan ini menyebabkan Sultan jengah dan mengatai Ndoro Purbo sebagai orang yang terjadi? Seketika itu juga Ndoro Purbo menjadi “orang gila”. Blio berakhir dengan hidup menggelandang. Banyak pihak yang menyatakan bahwa Ndoro Purbo menjadi gila sebagai bentuk kepatuhan pada sabda Sultan. Jika Sultan sudah berkehendak agar Ndoro Purbo menjadi gila, Ndoro Purbo akan gila. Inilah contoh ekstrem dari pemaknaan Sabda Pandita ini adalah pisau bermata dua bagi seorang raja atau pemimpin. Segala keputusan yang diambil akan diterima oleh rakyat sepenuh hati. Jika raja tersebut bijaksana, keputusannya akan berbuah manis bagi masyarakatnya. Namun, raja yang lalim akan membuahkan keputusan yang merusak hidup ada satu lagi jenis raja dalam bersabda. Dia adalah raja yang plin-plan. Raja plin-plan akan melahirkan suasana yang tidak menentu. Ketidakpastian dari keputusan raja yang plin-plan ini tidak pernah membawa efek positif bagi rakyatnya. Jika sabdanya saja plin-plan, bagaimana rakyat dapat berpegang pada sabda sang raja?Oke, saya pikir penjelasan tentang konsep falsafah ini sudah cukup. Sekarang mari kita pindah suasana. Dari kondisi kebatinan dan menilik masa lalu menuju kondisi yang nyata dan yang sedang kita alami. Yang saya maksud adalah kondisi masyarakat Jogja saat diterpa pageblug Covid-19. Dan tentu kita tidak akan jauh-jauh dari pusat pemerintahan masih hangat dalam pikiran kita tentang pencapaian Jogja. Pada Juli 2020, Jogja mendapat penghargaan lisan dari Presiden Joko Widodo. Menurut blio, Jogja tepatnya DIY adalah provinsi terbaik dalam penanganan Covid-19. Tentu masyarakat berbahagia. Naik pula kebanggaan masyarakat pada figur pemimpin rakyat Jogja, yaitu Sri Sultan HB X. Bahkan, banyak warga Jogja yang menyarankan provinsi lain mengikuti jejak daerah istimewa ini. Bau-bau congkaknya sangat sehari sebelum tulisan ini saya tulis, terjadi pecah rekor penambahan kasus Covid-19. Pada hari Sabtu 19/9/2020, terdapat tambahan 74 kasus baru terkonfirmasi Covid-19 di DIY. Menurut juru bicara Pemda DIY untuk penanganan Covid-19, Berty Murtiningsih, sebelumnya penambahan kasus tertinggi di DIY adalah 67 mirisnya lagi, sebelum lonjakan ini juga ditemukan kasus terkonfirmasi di area Malioboro. Bahkan ada satu pedagang kaki lima yang meninggal dunia serta terkonfirmasi positif. Jika wilayah jujugan pariwisata Jogja saja menjadi kluster penyebaran Covid-19, artinya penyebaran virus ini tidak boleh disepelekan. Lalu bagaimana Sri Sultan HB X selaku gubernur dan raja Jogja menanggapi ini?Dari hasil liputan Harian Jogja, Sultan menyatakan, “Ora papa nek positif yo wes nang rumah sakit tidak apa-apa kalau positif ya dirawat di rumah sakit.” Sultan juga mengatakan saat ini lebih baik beradaptasi karena masyarakat butuh pemasukan. “Kita adaptasi saja jangan menakut-nakuti, teneh kalau semua ditutup, rakyat Jogja laper mengko.”Uhm… Mungkin Anda bertanya-tanya dengan maksud pernyataan ini. Saya pribadi tidak berani berspekulasi banyak. Namun, secara gamblang, Sultan menekankan bahwa kawula Jogja harus beradaptasi. Nah, beradaptasi dengan apa? Dengan kebiasaan baru atau dengan penambahan angka positif Covid-19?Oke, kita kembali dalam falsafah sabda pandita ratu tadi. Sultan menyatakan bahwa jangan ada yang menakut-nakuti perihal Covid-19. Ingat, perkataan dan keputusan Sultan adalah panduan bagi rakyat Jogja. Jadi wajar jika ada kesan meremehkan dari masyarakat. Toh, Sultan bilang jangan menakut-nakuti Sultan juga memberikan pernyataan pada wartawan saat ada pedagang sayur di Beringharjo positif Covid-19. “Ya saya kira wajar aja. Kita jangan menganggap Corona Covid-19 itu terlalu berbahaya.” Sultan juga menambahkan “Kita adaptasi aja, sakit ya sudah di rumah sakit. Karena pandemi ini tidak peak masuk puncak terus turun. Jadi selesainya kapan kita tidak tahu.”Wah, pernyataan ini sangat extraordinary. Ketika pemerintah pusat dan daerah lain berlomba-lomba mengingatkan Covid-19 berbahaya, Sultan menyatakan agar kita rakyat Jogja jangan menganggap pandemi ini terlalu berbahaya. Tentu pernyataan ini menimbulkan sabda pandita ratu tan kena wola-wali. Sultan tidak akan mencla-mencle dalam membuat pernyataan. Jadi, warga Jogja telah mendapat panduan dari Sultan, bahwa Covid-19 tidak terlalu berbahaya. Tersenyumlah, pernyataan ini sangat menyenangkan bagi warga Jogja. Ketika daerah lain bersiaga bahkan ingin menerapkan PSBB kembali, warga Jogja diajak untuk memandang Covid-19 tidak terlalu berbahaya. Jadi, wajar jika tidak ada sikap khusus selain mematuhi protokol kesehatan. Pokoknya loss doll saja, Sultan menyatakan Covid-19 tidak terlalu protokol kesehatan di wilayah Malioboro sesudah ada kasus positif, Sultan juga menyampaikan “Protokolnya ora lalu itu aja, itu Malioboro merupakan tanggung jawab Pak Wali Kota Jogja.” Pernyataan ini seperti “lempar masalah”, tapi ya sudahlah. Ingat, sabda pandita ratu. Halo, Pak Haryadi, njenengan dicari Ngarso tidak ada pernyataan yang lebih dipertanyakan “sabda pandita ratu”-nya selain saat Sultan menyatakan bahwa Covid-19 sama seperti demam berdarah DB. Sultan menyatakan, “Jadi jangan berasumsi kalau kena Corona sepertinya bikin geger seluruh Yogyakarta, dianggap saja sama DB juga sama kok.”Baik, mari kita pahami secara positif. Pasti Ngarso Dalem tidak ingin kepanikan berlebihan ketika muncul kasus Covid-19. Tentu harapan ini juga baik bagi kita rakyat Jogja. Namun, apakah harus menyamakan antara Covid-19 dengan DB? Apakah pernyataan ini pantas diungkapkan pada masa di mana rakyat bersama-sama saling mengawasi dan menjaga?Menyatakan bahwa Covid-19 sama seperti DB bisa menjadi bola liar bagi masyarakat Jogja. Dan terbukti dari tanggapan netizen, banyak yang menyetujui sekaligus mengamini untuk tidak takut pada Covid-19. Bahkan banyak yang menyatakan penanganan Covid-19 selama ini terlalu berlebihan. Nah kan jadi loss doll. Pasti JRX tersenyum ketika membaca berita saya, falsafah sabda pandita ratu tengah diuji. Ngarso Dalem sedang dihadapkan pada kondisi yang mana kepemimpinan dan arahan blio menjadi haluan bersama rakyat Jogja. Namun, bagaimana falsafah ini dihadapkan pada pernyataan blio yang terkesan menggampangkan dan bertolak belakang dengan usaha penanganan Covid-19? Apakah Ngarso Dalem tetap dapat mempertahankan sikap tan keno wola-wali?Ngomong-ngomong, saya KTP Jogja. Lahir juga di Jogja. Trah Jogja juga. Bukan apa-apa, hanya sekadar memberi tahu. JUGA Menyuruh Orang untuk Cari Kerja biar Nggak Protes Melulu Itu Aneh dan tulisan Prabu Yudianto Mojok merupakan platform User Generated Content UGC untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di diperbarui pada 22 September 2020 oleh Rizky Prasetya
Jakarta - Falsafah Jawa berbunyi "sabda pandita ratu tan kena wola wali". Falsafah tersebut bermakna bahwa seorang raja atau seorang pemimpin presiden tidak boleh berganti ucapan atau keputusan, karena keputusan seorang pemimpin sekali diucapkan, maka ucapannya akan menjadi pedoman, sumber rujukan semua orang, baik bagi pejabat negara yang menjalankan roda pemerintahan maupun kepada rakyat sebagai warga negara. Artinya, seorang presiden ditempatkan sebagai tokoh utama dan paling strategis dan harus jalankan oleh para pembantu-pembantu presiden. Dalam konteks keindonesiaan, falsafah tersebut telah diadopsi dalam bingkai ketatanegaraan, yakni dalam kesepakatan menganut sistem presidensial. Jika ada yang mengatakan enak benar jadi presiden, ya memang begitulah konsekuensi pilihan negara yang sepakat untuk menguatkan sistem presidensial. Konsekuensi logisnya adalah menempatkan presiden sebagai tokoh utama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan, sehingga keputusan dan arahan presiden harus dijalankan oleh IlusiSistem presidensial yang dianut Indonesia menempatkan presiden sebagai tokoh utama dan wajib diikuti oleh bawahannya tinggal ilusi belaka. Contoh, beberapa hari yang lalu, Presiden Joko Widodo dalam menyikapi polemik Tes Wawasan Kebangsaan TWK pegawai KPK menjalankan apa yang disebut "sabda pandita ratu". Dalam pidatonya, presiden memberikan arahan yang berbunyiKomisi Pemberantasan Korupsi, KPK, harus memiliki SDM yang baik dan berkomitmen dalam upaya pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, pengalihan status KPK menjadi ASN harus menjadi bagian upaya sistem pemberantasan korupsi yang lebih sistematis. hasil tes wawasan kebangsaan hendaknya sebagai masukan perbaikan KPK, baik kepada Individu-individu maupun institusi KPK dan tidak serta merta menjadi dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes. Kalau dianggap ada kekurangan, saya berpendapat, masih ada peluang untuk memperbaiki, melalui pendidikan wawasan kebangsaan. Dan perlu dilakukan perbaikan pada level individual maupun organisasi. Saya sependapat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua UU KPK, yang mengatakan bahwa proses pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN. Saya minta para pihak yang terkait, khususnya pimpinan KPK, Kemen PAN RB dan Kepala BKN untuk merancang tindak lanjut 75 pegawai KPK yang tidak lulus tes dengan prinsip-prinsip yang saya sampaikan tadi. Alih-alih menjalankan perintah presiden, KPK, Badan Kepegawaian Nasional BKN, Kemenkumham, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mengabaikan perintah Presiden. Mereka memilih untuk memutuskan 51 pegawai KPK tidak dapat diangkat menjadi ASN, sementara 24 pegawai dinyatakan masih dapat itu, bukannya berdarah-darah pasangan badan terdepan untuk mempertahankan anak buah agar tetap sebagai pegawai KPK, pada saat jumpa pers di Gedung BKN, Komisioner KPK menyatakan bahwa dari 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat hasil wawasan kebangsaan, menghasilkan 24 pegawai yang masih dimungkinkan dilakukan pembinaan dan 51 pegawai KPK warnanya sudah merah, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan sebuah bahwa 51 pegawai KPK yang sudah memiliki rapor merah, sehingga tidak dapat dibina lagi merupakan kesalahan fatal dan offside. Padahal kewenangan pembinaan ASN ada di tangan presiden. Coba lihat Peraturan Presiden Nomor 17 tahun 2020 tentang Management ASN, Pasal 3 Ayat 1 Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan PNS berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Garam di LautSaya berpendapat bahwa TWK yang dilakukan kepada pegawai KPK tersebut sama dengan "nguyahi banyu segara" alias menyebar garam di laut. Tes wawasan kebangsaan yang seharusnya tidak perlu diadakan, tetapi ngotot diadakan. Artinya TWK ini adalah proses yang mengada-ada. Apakah ini fiktif ? Kalau merujuk pada Putusan MK tentang Pengujian UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua UU KPK, tentu ini bukan fiktif, karena tidak terdapat dalam katanya, Tes Wawasan Kebangsaan tersebut berfungsi sebagai tool untuk mengukur seberapa besar dukungan, kesetiaan terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah yang sah, aspek keterpengaruhan terhadap lingkungan dan aspek pribadi keyakinan, nilai dan motivasi pegawai KPK akibat Revisi UU KPK yang mensyaratkan bahwa pegawai KPK menjadi yang mengada-ada itu semakin terang, yang ada hanyalah upaya penyingkiran orang yang berintegritas dan jujur tanpa pesanan dalam upaya pemberantasan korupsi. Maka sangat tepat jika muncul slogan "Berani Jujur Dipecat". Sangat mustahil jika penyidik-penyidik yang telah lama di KPK, belasan tahun di KPK, yang telah banyak melakukan OTT, telah terbukti menangani kasus korupsi besar di Indonesia tetapi tidak memiliki jiwa nasionalisme. Sungguh tidak mungkin jika pegawai KPK yang membangun jaringan antikorupsi di daerah, membangun sistem antikorupsi di lintas lembaga, lintas partai, tetapi tidak memiliki rasa cinta terhadap NKRI dan setia terhadap patut dipertanyakan adalah apakah kerja-kerja nyata pemberantasan korupsi bukan cerminan rasa cinta terhadap NKRI? Apakah dengan menangkap maling negara bukan indikator rasa setia terhadap Pancasila? Apakah negara ini hanya mengakui bahwa orang yang setia terhadap bangsa adalah orang-orang yang lantang secara verbal mengucap lafal "NKRI HARGA MATI"? Ah, sudahlah!Merintangi Proses PenyidikanKita ketahui bersama bahwa dari 75 pegawai yang tidak lulus TWK ini adalah penyidik independen KPK. Saat ini mereka penyidik independen KPK ini sedang menangani kasus-kasus besar, bansos Covid-19 mantan Menteri Soaial Juliari Batubara, kasus bibit benih lobster Eddy Prabowo Mantan Menteri Kelautan, kasus Bupati Tanjung Balai yang diduga menyeret Komisioner KPK, dan beberapa kasus besar lainnya. Keputusan Komisioner KPK yang meminta 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan merupakan wujud nyata upaya merintangi proses penyidikan obstruction of justice, karena penuntasan kasus-kasus besar yang sedang mereka tangani pasti akan Syamsu Hidayat Badan Pekerja MCW Malang mmu/mmu